Prinsip Dasar Perlakuan Panas Al


Proses awal dari heat treatment adalah solution treatment, dimana material dipanaskan pada temperatur 535°C selama 6 jam. Pada kondisi ini struktur mikro material mengalami restrukturisasi, dimana terjadi proses difusi paduan Mg dan Si ke dalam matriks Alumunium membentuk larutan padat. Setelah berjalan 6 jam, matriks alumunium menjadi larutan padat yang kaya akan unsur paduan Mg dan Si, disebut sebagai larutan padat lewat jenuh. Larutan ini bersifat sangat labil (mudah mengalami perubahan fasa dan pembentukan presipitat bila mengalami proses aging).

Lamanya proses solution ditentukan selama 6 jam, yang merupakan waktu efektif pembentukan larutan padat lewat jenuh. Lebih dari 6 jam, proses solution akan tidak efektif lagi mengingat matriks alumunium sudah sangat kaya akan paduan (kelewat jenuh) sehingga proses difusi paduan tidak akan terjadi lagi.

Temperatur proses diset pada 535°C mengingat pada temperatur tersebut, matriks alumunium mendekati titik cairnya tetapi masih berbentuk padat dan lunak, yang akan memudahkan berlangsungnya proses difusi paduan. Tetapi bagaimanapun juga kondisi ini sangat kritikal karena struktur padatan akan bersifat lunak dan mudah terdeformasi (berubah bentuk). Bila temperaturnya melebihi 545°, material akan semakin rentan mengalami deformasi, oleh karena itu harus dijaga jangan sampai temperatur oven melebihi batas standar yang ditentukan.

Langkah kedua adalah proses quenching, yaitu proses pendinginan material hasil solution dengan cepat menggunakan media air. Proses ini bertujuan untuk menjebak paduan-paduan yang telah berdifusi ke dalam matriks agar tidak keluar lagi, sehingga struktur mikronya tetap pada kondisi lewat jenuh. Quenching merupakan proses yang kritikal untuk menghasilkan distribusi seragam dari fasa presipitat yang akan terjadi pada saat proses aging. Jika larutan padat hasil solution didinginkan dengan lambat, paduan yang tadinya terdistribusi di dalam matriks akan keluar dan kembali ke keadaan semula (tersebar menyendiri di antara matriks alumunium). Selain itu pendinginan lambat memungkinkan terbentuknya presipitat di batas butir alumunium. Kondisi ini tidak diinginkan karena presipitat yang keras dan getas di batas butir bertendensi menyebabkan penjalaran retak yang disebut sebagai retak intergranular (penjalaran retak melalui batas butir). Karena alasan ini, maka perpindahan proses dari solution treatment ke quenching tidak boleh melebihi 30 detik.

Temperatur bak quenching ditentukan 65 – 85°C. Hal ini bermaksud untuk menghindari terjadinya thermal shock pada material, yang akan mengakibatkan material terdeformasi. Lamanya quenching adalah 45 detik, yang diambil dari hasil percobaan dimana dalam waktu tersebut material akan mengalami pendinginan yang cukup.

Proses terakhir adalah proses aging, dimana material dipanaskan kembali pada temperatur 140°C selama 3.5 jam. Karena sifatnya yang labil, larutan padat yang kaya paduan tersebut akan mengalami perubahan struktur mikro dimana Mg dan Si yang semula terdistribusi di dalam larutan akan membentuk presipitat Mg2Si yang tumbuh seiring berjalannya waktu aging. Presipitat yang bersifat keras dan getas terdistribusi merata di dalam matriks alumunium, akan meningkatkan kekerasan material secara seragam.

Sebenarnya, tanpa melalui oven aging pun, presipitat akan tumbuh dengan sendirinya. Peristiwa ini disebut sebagai natural aging. Semakin tinggi temperatur aging, proses akan berjalan semakin cepat. Oleh sebab itulah dilakukan proses artifiacial aging menggunakan oven bertemperatur 140°C untuk mempercepat terbentuknya presipitat. Lamanya proses artificial aging pun harus diperhitungkan, jangan sampai terlalu lama. Bila waktu agingnya terlampau lama, maka presipitat-presipitat yang sudah jadi akan saling beraglomerasi (bergabung menjadi ukuran yang lebih besar), dimana ukuran presipitat yang terlalu besar malah akan menurunkan kekerasan material.




Perlakuan Panas Al

Untuk meningkatkan kekerasan dan kekuatannya, setelah proses pengecoran harus melalui proses yang disebut sebagai heat treatment. Pada proses ini, material dipanaskan pada temperatur dan waktu tertentu, didinginkan dengan cepat, kemudian dipanaskan kembali pada temperatur dan waktu yang lebih rendah dari sebelumnya. Selama proses ini, struktur mikro material akan mengalami perubahan yang signifikan dimana struktur yang baru memiliki kekerasan dan kekuatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Lebih lengkapnya, proses yang disebut sebagai perlakuan panas ini bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik material seperti tensile strength, resistance, elongation, impact resistance, dan hardness. Tidak seperti pada logam ferrous, paduan logam non ferous seperti alumunium hanya dapat dikeraskan secara signifikan melalui proses yang disebut sebagai precipitation hardening, yaitu proses tambahan yang bertujuan untuk menambah kekuatan material melalui penghalusan butir.
Pada proses ini, sifat mekanik paduan alumunium ditingkatkan dengan cara pembentukan lattice defect yang akan berlaku sebagai penghambat gerak dislokasi. Pada hasil proses precipitation hardening, defect tersebut berbentuk partikel-partikel halus yang terdistribusi merata, disebut sebagai presipitat.

Intinya, proses precipitation hardening pada alumunium memanfaatkan pembentukan presipitat (materi yang keras dan berfungsi sebagai inklusi / penghambat laju dislokasi) seperti Mg2Si, CuAl2, Si eutectic, dan Mg2Al. Oleh karena itu Mg, Si, ataupun Cu merupakan elemen-elemen utama dalam paduan alumunium. Tanpa adanya unsur-unsur tersebut, kecil kemungkinan terjadinya pengerasan melalui proses heat treatment.

SOLUTION TREATMENT
Solution treatment dapat dilakukan pada media udara, oli atau tungku garam. Media oli (200 – 300°C) dan garam (300 – 500 °C) memiliki keuntungan daripada media udara dalam hal keseragaman temperatur prosesnya, tetapi dari segi kemudahan proses dan pencapaian temperaturnya yang tinggi, media udara lebih banyak digunakan.

Solution treatment dilakukan untuk mendapatkan fasa tunggal yang sesuai dan stabil. Berdasarkan diagram fasanya, fasa yang stabil adalah fasa α. Sebagai ilustrasi, rentang temperatur stabil untuk paduan 4wt% Cu adalah antara 500 – 550 °C, maka agar terjadi proses difusi unsur paduan ke dalam matriksnya (sebagai syarat untuk merubah struktur mikro), paduan tersebut harus mengalami solution treatment di antara temperatur tersebut.

Pada solution treatment, paduan dipanaskan hingga membentuk larutan padat sempurna (yaitu wilayah fasa tunggal pada diagram fasa). Kondisi fasa matriks pada temperatur ini memungkinkan elemen-elemen paduan berdifusi ke dalam matriks induknya dan terdistribusi dengan sendirinya secara merata. Komposisi yang terjadi disebut sebagai larutan padat. Larutan padat kemudian didinginkan dengan cepat (quench) hingga mencapai temperatur kamar. Setelah diquench, atom-atom yang terlarut akan tetap terdistribusi merata dalam larutan padat lewat jenuh (supersaturated solid solution) yang memiliki sifat sangat lunak dan ulet.

Struktur mikro paduan alumunium hasil casting terdiri dari kristal silikon eutektik berbentuk jarum, Mg2Si berwarna keabu-abuan dan fasa alumunium pro-eutektoid. Proses solution treatment menyebabkan Mg2Si terlarut ke dalam matriks alumunium, sementara kristal eutektik silikon yang tadinya berbentuk jarum berubah menjadi nodular. Transisi ini memerlukan waktu yang cukup lama. Semakin lama waktu solution dan semakin tinggi temperaturnya maka proses akan menghasilkan efek yang lebih baik. Tetapi bagaimanapun juga, kedua parameter tersebut memiliki batas tertentu.

QUENCHING
Proses quenching merupakan proses yang kritikal untuk menghasilkan distribusi fasa presipitat yang seragam pada saat proses aging. Jika proses pendinginannya berlangsung terlalu lambat, presipitat akan terbentuk di batas butir, yang akan menyebabkan sifat mekaniknya keras dan getas. Pembentukan presipitat di batas butir alumunium berpotensi menyebabkan terjadinya intergranular embrittlement (perambatan retak melalui batas butir alumunium).

Proses quenching yang melibatkan pendinginan cepat (rapid cooling) fasa padat α yang kaya akan elemen paduan (Si, Mg, Cu) dalam air hingga mencapai temperatur kamar. Pendinginan cepat ini akan mempertahankan larutan padat dengan cara mencegah difusi atom-atom paduan keluar dari matriksnya, menghasilkan larutan padat lewat jenuh (supersaturated solid solution – SSS)). Proses ini dikenal sebagai proses solid solution hardening.

Bila paduan didinginkan dengan lambat setelah proses solution treatment, Mg2Si dan elemen-elemen lain yang tadinya sudah berdifusi ke dalam matriks alumunium akan kembali ke keadaan awal sebelum solution treatment. Tetapi jika paduan didinginkan dengan cepat ke dalam air, Mg2Si akan tetap terlarut dalam matriks, seperti kondisi saat solution treatment. Proses pendinginan cepat ini dikenal sebagai proses quenching. Dengan kata lain, proses quenching memaksa Mg2Si terlarut dalam matriks pada kondisi padat sehingga matriks bersifat lewat jenuh (supersaturated solid solution). Semakin cepat laju pendinginannya akan semakin baik, tetapi bila terlalu cepat akan menyebabkan material terdeformasi. Oleh sebab itu material diquench dalam air hangat (80 °C).

AGING
Langkah terakhir adalah pemanas ulang (re-heating) larutan pada temperatur tertentu dan ditahan pada temperatur tersebut selama beberapa waktu, dikenal sebagai proses aging.
Setelah proses quenching, paduan yang memiliki struktur larutan padat lewat jenuh (supersaturated solid solution) cenderung tidak stabil dan bertendensi membentuk presipitat Mg2Si. Saat waktunya tiba, Mg2Si akan terdispersi dan terpresipitasi. Peristiwa ini disebut sebagai aging.
Aging terbagi menjadi dua kategori : aging dingin, dimana presipitasi berlangsung pada temperatur kamar (natural aging) dan aging panas dimana paduan dipanaskan untuk mempercepat terbentuknya presipitat (artificial aging). Semakin tinggi temperatur aging dan semakin lama waktunya, paduan akan menjadi semakin keras. Tetapi bila temperatur terlalu tinggi atau waktunya terlalu lama, proses presipitasi akan mencapai puncaknya dan presipitat-presipitat yang telah terbentuk akan saling berdifusi dan beraglomerasi membentuk struktur baru, sehingga jumlah presipitat dalam matriks akan berkurang. Hal ini menyebabkan kekerasan paduan akan menurun. Peristiwa ini disebut sebagai overaging.

Pada beberapa kasus, sampel hasil solution – quenching akan membentuk presipitat pada temperatur ruang, yang disebut sebagai natural aging. Proses yang melibatkan peningkatan temperatur dengan maksud mempercepat terjadinya presipitat disebut sebagai artificial aging.
(Sumber : Modul Gigin)



Metode metode pengecoran Al

Pada prinsipnya, casting Al ada 2 macam berdasarkan cetakannya, yaitu sand casting dan die casting. Sand casting adalah sistem pengecoran Al dimana cetakannya terbuat dari pasir, sehingga sekali pakai. Sedangkan die casting adalah sistem pengecoran dimana cetakannya terbuat dari logam sehingga dapat digunakan berulang ulang. Beberapa metode die casting produk alumunium yang umum digunakan di industri pengecoran antara lain :

1. Gravity Casting
Teknik gravity casting merupakan teknik pengecoran yang paling tua. Metal cair dituangkan pada rongga cetakan yang terbuat dari pasir, besi cor, atau paduan baja tahan panas lainnya. Proses ini hanya memanfaatkan gaya gravitasi saja, tanpa mengaplikasikan gaya tekan mekanis.
Metal cair mengalir ke dalam cetakan dan membeku dengan cepat selama proses pengecoran berlangsung. Hasil pengecoran dengan sistem ini memiliki permukaan yang halus dan dimensi yang cukup akurat; selain juga memiliki sifat mekanis dan ketahanan tekan yang sangat baik. Tidak seperti pada cetakan pasir, cetakan baja dapat digunakan berkali-kali. Kelemahannya, proses pembuatan cetakannya cukup mahal.


2. Low Pressure Casting (LPC)
Pada teknik ini, cetakan baja ditempatkan di atas crucible / holding furnace kedap udara yang berisi metal cair. Metal dalam crucible kemudian diinjeksikan ke dalam cetakan melalui sebuah saluran (riser tube) dengan mengaplikasikan tekanan udara sebesar 0.3 – 1 bar. Proses ini merupakan kebalikan dari proses gravity casting, dimana arah gaya tekan berlawanan dengan gaya gravitasi, mendorong metal cair mengalir ke atas hingga semua cavity dalam mold terisi.
Teknik ini menghasilkan produk dengan kualitas permukaan yang tinggi, kepadatan dan keseragaman bentuk yang baik. Proses ini sangat sesuai untuk produk-produk simetris. Kelemahan dari teknik ini adalah prosesnya yang berjalan lebih lambat daripada teknik pengecoran lainnya.


3. Centrifugal Casting
Struktur mold pada proses ini terdiri dari sebuah riser yang berada di tengahcetakan, sementara rongga cetaknya berada di bagian paling luar dari mold, mengelilingi riser. Rongga cetak pada mold tidak hanya satu buah, tetapi biasanya terdapat beberapa buah yang masing-masing terhubung ke riser melalui suatu saluran yang disebut runner.
Metal cair dituangkan ke bagian riser, kemudian seluruh bagian mold diputar dengan cepat sehingga metal cair di riser tertekan ke dalam rongga cetak. Pada setiap kali penuangan, produk yang dihasilkan lebih dari satu buah. Proses ini hanya cocok untuk produk-produk berukuran kecil dan banyak.

4. Mold Casting
Pada proses mold casting, metal cair dimasukkan ke dalam sebuah silinderkemudian didorong dengan cepat oleh sebuah plunger dan ditekan beberapa saat hingga semua bagian metal dalam cavity membeku. Setelah proses pembekuan selesai, plunger bergerak mundur, mold terbuka, kemudian produk ditekan keluar oleh sebuah unit ejector. Proses ini memerlukan waktu shot yang cepat dan tekanan mekanis yang tinggi.

5. Pore Free Mold Casting
Merupakan pengembangan dari sistem mold casting biasa. Udara dalam cetakan digantikan oleh gas aktif seperti oksigen. Gas aktif ini akan bereaksi dengan uap alumunium yang terbentuk dalam molten selama proses injeksi berlangsung, membentuk oksida alumunium, yang kemudian terdispersi dan membeku dalam cavity. Akibatnya, tidak akan ada gas yang tertinggal di dalam produk. Biasanya gas yang tertinggal di dalam coran akan menghasilkan porositas.

6. Squeeze Casting
Squeeze casting lebih dikenal sebagai proses high pressure casting. Teknik ini merupakan kombinasi dari proses forging dan casting; molten metal dalam cetakan dibentuk dan membeku di bawah tekanan mekanis yang tinggi. Hasil proses ini memiliki sifat mekanis, permukaan, kepadatan, dan keakuratan dimensi yang sangat baik. Teknik squeeze casting merupakan teknik pengecoran alumunium yang paling efektif, terutama untuk produk-produk berukuran kecil dan memerlukan kecepatan produksi yang tinggi.





Facebook Haram?

PBNU: Hukum Facebook Bisa Haram kalau Disalahgunakan
Senin, 25 Mei 2009 20:47
Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) angkat bicara tentang fatwa hukum haram mengakses situs jejaring sosial, Facebook, yang dikeluarkan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jatim pada Jumat, 20 Mei lalu. Menurut PBNU, hukum Facebook bias haram kalau disalahgunakan.


Facebook, seperti juga jenis teknologi lainnya, merupakan alat semata. Ia bisa menjadi haram kalau disalahgunakan. Sebaliknya, menjadi halal jika bernilai manfaat dan kebaikan.

"Dalam agama, alat itu bersifat netral. Artinya, tergantung bagaimana alat itu digunakan," ungkap Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, kepada NU Online, di Kantornya Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (25/5).

Hasyim yang juga Pengasuh Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timu, itu menganalogikan Facebook dengan pisau dapur. Jika digunakan untuk memasak, pisau tersebut justru membawa manfaat bagi orang yang mengunakan.

Sebaliknya, lanjut dia, jika digunakan membunuh orang, maka pisau dapur itu akan menjadi masalah. "Kalau pisau digunakan untuk masak apa salahnya, tapi kalau untuk membunuh, bisa jadi barang bukti (pembunuhan)," jelasnya.

Dikatakannya, hukum Facebook sama dengan menggunakan alat-alat lainnya, seperti telepon seluler. Jika digunakan untuk kebaikan, alat komunikasi itu justru membawa manfaat yang sangat besar. "Jadi, tergantung penggunaannya. Yang penting untuk apanya. Jadi yang dihukumi bukan alatnya, tapi penggunaanya," jelasnya.

FMPP dalam dalam bahtsul masail-nya di Komplek Pesantren Hidayatul Mubtadi'in, Kediri, Jatim, mempersoalkan Facebook karena sering disalahgunakan untuk hal-hal yang dilarang agama. Berdasarkan hasil bahtsul masail itu, komunitas ulama Jatim meminta Majelis Ulama Indonesia agar mengharamkan Facebook. (rif)

Menjadikan Sony Ericsson K810i Menjadi Modem Internet

Sudah hampir dua bulan ini Saya menggunakan HP K810i sebagai modem untuk terkoneksi dengan dunia maya. Saya menggunakan HP karena modem 3.5G masih belum terjangkau, akan tetapi HP juga bisa digunakan sebagai modem.

Saya menggunakan Sony Ericsson PC Suite bawaan HP SE K810i sebagai software penghubung ke komputer. Berikut ini cara setting K810i sebagai modem.

  1. Hubungkan SE K810i dengan komputer menggunakan kabel USB bawaan/Bluetooth.
  2. Pastikan terkoneksi dengan baik ditandai dengan icon Sony Ericsson PC Suite di sebelah kanan bawah aktif.
  3. Klik kanan ikon tersebut dan pilih moble networking wizard.
  4. Kemudian akan muncul jendela baru seperti di bawah ini.
  5. Kemudian klik jenis koneksi yang telah disetting sebelumnya.
  6. Kemudian klik connect.
  7. Apabila telah terkoneksi, maka siap digunakan untuk browsing.

Modem Sierra Murah Karawang

Modem Sierra adalah salah satu modem ex bundle operator Amerika AT&T. Seiring perkembangan internet 3.5 G unlimited di Indonesia, modem ini semakin diminati oleh pengguna internet unlimited di Indonesia. Harganyapun semakin turun dan terjangkau


Sierra 885
Harga : Rp. 760.000
Koneksi : USB

Modem ini terbukti sinyalnya paling kuat, karena menggunakan baterai sebagai penyupali daya sekaligus penguat sinyal.


Sierra 881u
Harga : Rp. 760.000
Koneksi : USB

Modem ini bisa digunakan sebagai USB ( ada slot microSD ) sehingga sangat praktis dan serbaguna.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi :
Tersedia untuk seluruh indonesia ( plus ongkos kirim )
Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Karawang, Bekasi, Bandung dll
Pengiriman melalui TIKI/JNE

Ina L
SMS : 081328776562

Prinsip Dasar Perhitungan Sudut dengan Software REBA

Kegiatan Manual material handling sering dijumpai pada kegiatan-kegiatan industri. Pemindahan material secara manual apabila tidak dilakukan secara ergonomis, maka akan menimbulkan kecelakaan dalam kegiatan industri.

Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cidera dalam bekerja. Kenyamanan tercipta apabila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja.

Terdapat banyak metode dalam analisa postur dan pergerakan kerja, salah satunya adalah dengan metode REBA atau Rapid Entire Body Assessment yang dikembangkan oleh oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc. Atamney. Metode Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney, 2000).

Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dilakukan dengan cara pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.

Selama ini perhitungan skor dan level resiko pada REBA dilakukan secara manual atau dengan menggunakan bantuan software movie plotter, sebuah software untuk menentukan koordinat x dan y dari aktivitas kerja yang telah direkam dalam bentuk video. Dari koordinat-koordinat tersebut dihitung sudut menggunakan rumus segitiga, sudut yang dihasilkan digunakan untuk pehitungan skor dengan bantuan microsoft excel, baru kemudian ditentukan level resiko dan tindakan perbaikannya.

Hal diatas dirasa terlalu banyak langkah dan prosesnya terlalu lama. Maka dari itu perlu dibuatkan software yang terintegrasi, mulai dari proses perhitungan sudut, proses penentuan range sudut, coupling, beban yang diangkat sampai ke level resiko dan tindakan perbaikan. Selain itu juga terdapat fasilitas database untuk menyimpan postur yang telah dihitung dan juga fasilitas cetak.

Untuk menentukan sudut dalam software ini diperlukan tiga titik koordinat. Dari ketiga titik koordinat tersebut bisa ditentukan panjang masing-masing garis yang menghubungkan antar koordinat.
Dasar perhitungan Software REBA

Rumus perhitungan sudut diatas adalah dasar perhitungan sudut dalam software REBA. Akan tetapi dalam aplikasi perhitungan pada postur kerja tertentu rumus tersebut masih memerlukan perhitungan khusus. Berikut ini adalah aturan perhitungan sudut dalam software REBA .


Untuk Postur Leher.
Dalam aturan REBA, sudut leher adalah sudut antara garis tegak lurus punggung (garis B) terhadap leher (garis A). Sehingga untuk mendapatkan sudut leher maka titik yang harus diketahui adalah titik 6, titik 2, dan titik 1. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur leher adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut leher yang telah dihasilkan.

Untuk Postur Punggung.
Sudut punggung adalah sudut antara garis tegak lurus kaki atas (garis C) terhadap punggung (Garis B). Untuk mendapatkan sudut punggung maka diperlukan tiga titik yaitu titik 7, titik 6, dan titik 2. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur punggung adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut punngung yang telah dihasilkan.

Untuk Postur Kaki.
Pada postur kaki, sudut yang dihitung adalah sudut antara garis tegak lurus punngung (garis B) terhadap kaki bagian atas (garis C). Untuk mendapatkan sudut kaki maka diperlukan tiga titik yaitu titik 8, titik 6, dan titik 7. Setelah itu didapatkan sudut untuk postur kaki dengan menggunakan rumus segitiga.

Untuk Postur Lengan Atas.
Sudut lengan atas adalah sudut antara garis lurus punggung (garis B) terhadap lengan atas sampai siku (garis D). Untuk mendapatkan sudut lengan atas maka diperlukan tiga titik yaitu titik 6, titik 2, dan titik 3. Setelah itu didapatkan sudut untuk postur lengan atas dengan menggunakan rumus segitiga.

5. Untuk Postur Lengan Bawah
Begitu juga dengan lengan bawah, sudut yang dihitung adalah sudut antara garis lurus lengan atas sampai siku (garis D) terhadap lengan bawah (garis E). Untuk mendapatkan sudut pergelangan tangan maka diperlukan tiga titik yaitu titik 2, titik 3, dan titik 4. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur lengan bawah adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut lengan bawah yang telah dihasilkan.

Untuk Postur Pergelangan Tangan.
Untuk pergelangan tangan, sudut dihitung dari garis lurus lengan bawah (garis E) terhadap pergelangan tangan (garis F), Untuk mendapatkan sudut pergelangan tangan maka diperlukan tiga titik yaitu titik 3, titik 4, dan titik 5. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur pergelangan tangan adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut punngung yang telah dihasilkan.

Software REBA


Analisa postur dan pergerakan kerja dengan metode REBA pada prinsipnya adalah menganalisa postur kerja dari individu operator dalam kaitannya dengan kenyamanan kerja yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan kerja. Metode ini bisa mengetahui tingkat resiko postur atau posisi kerja berdasarkan level resiko yang didapatkan.

Software ini digunakan untuk memudahkan dalam pencarian tingkat resiko berdasarkan metode REBA. Software ini bekerja berdasarkan langkah-langkah REBA, sehingga dalam pembuatan software ini diperlukan data-data yang ada kaitannya dengan metode REBA. Selain data-data yang ada kaitannya dengan REBA juga ada rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung sudut.

Untuk menentukan sudut dalam software ini diperlukan tiga titik koordinat. Dari ketiga titik koordinat tersebut bisa ditentukan panjang masing-masing garis yang menghubungkan antar koordinat.


Acuan perhitungan sudut dengan software REBA

Rapid Entire Body Assessment (REBA)

REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottingham’s Institute of Occuptaional Ergonomic).

Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktifitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney, 2000).

Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.

REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa menggangu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Dengan didapatnya nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja.

Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui tahapan–tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney, 2000) :
  1. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
  2. Penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing–masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing–masing tabel.
Tabel dan Range pergerakan punggung

Tabel dan Range pergerakan leher

Tabel dan Range pergerakan kaki

Tabel dan Range pergerakan lengan atas


Tabel dan Range pergerakan lengan bawah

Tabel dan Range pergerakan pergelangan tangan

Tabel A skor REBA

Tabel B skor REBA

Tabel C skor REBA

Tabel level resiko dan tindakan

Ergonomi

Ergonomi adalah suatu ilmu tentang manusia dalam usaha untuk meningkatkan kenyamanan dilingkungan kerjanya. Istilah Ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu Ergon (kerja) dan Nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek–aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yaitu ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan perancangan/desain (Nurmianto, 1996). Disiplin ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk–produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas–batas kemampuan baik jangka pendek maupun jangka panjang, pada saat berhadapan dengan lingkungan sistem kerja yang berupa perangkat keras/hardware (mesin, peralatan kerja, dll) dan atau perangkat lunak/software (metode kerja, sistem, dll) (Wignjosoebroto, 1995).

Ergonomi adalah satu ilmu yang peduli akan adanya keserasian manusia dan pekerjaannya. Ilmu ini menempatkan manusia sebagai unsur pertama, terutama kemampuan, kebolehan, dan batasannya. Ergonomi bertujuan membuat pekerjaan, peralatan, informasi, dan lingkungan yang serasi satu sama lainnya (Purwaningsih, 2005). Metode pendekatannya dengan menganalisis hubungan fisik antara manusia dengan fasilitas kerja. Manfaat dan tujuan ilmu ini adalah untuk mengurangi ketidaknyamanan pada saat bekerja. Dengan demikian Ergonomi berguna sebagai media pencegahan terhadap kelelahan kerja sedini mungkin sebelum berakibat kronis dan fatal.

Aplikasi ergonomi dalam desain sistem kerja memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya : desain sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia. Desain stasiun kerja untuk alat peraga visual (visual display unit station), untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja. Desain perkakas kerja (handtools) untuk mengurangi kelelahan kerja. Desain peletakan instrument dan sistem pengendali agar didapat optimasi dalam proses transfer informasi sehingga dihasilkan suatu respon yang cepat dengan meminimumkan resiko kesalahan, dan meningkatkan efisiensi kerja dan hilangnya resiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto, 1996).

Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (redesain). Ergonomi dapat berperan pula dalam desain pekerjaan pada suatu organisasi, misalnya : penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift kerja) dan meningkatkan variasi pekerjaan. Agar dapat menghasilkan rancangan sistem kerja yang baik perlu dikenal sifat – sifat, keterbatasan serta kemampuan yang dimiliki manusia. Dalam sistem kerja, manusia berperan sentral yaitu sebagai perencana, perancang, pelaksana dan pengevaluasi sistem kerja yang bekerja secara keseluruhan agar diperoleh hasil kerja yang baik atau memuaskan. Dilihat dari sisi rekayasa, informasi hasil penelitian Ergonomi dapat dikelompokkan dalam 4 bidang penelitian (Sutalaksana et al., 1979), yaitu:

  1. Penelitian tentang display. Display adalah alat yang menyajikan informasi tentang lingkungan yang dikomunikasikan dalam bentuk tanda–tanda atau lambang–lambang. Display terbagi menjadi 2 bagian, yaitu display statis dan display dinamis. Display statis adalah display yang memberikan informasi tanpa dipengaruhi oleh variabel waktu, misalnya peta. Sedangkan display dinamis adalah display yang dipengaruhi oleh variabel waktu, misalnya speedometer yang memberikan informasi kecepatan kendaraan bermotor dalam setiap kondisi.
  2. Penelitian tentang kekuatan fisik manusia. Penelitian ini mencakup mengukur kekuatan/daya fisik manusia ketika bekerja dan mempelajari bagaimana cara kerja serta peralatan harus dirancang agar sesuai dengan kemampuan fisik manusia ketika melakukan aktifitas tersebut. Penelitian ini merupakan bagian dari biomekanik.
  3. Penelitian tentang ukuran/dimensi dari tempat kerja. Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan ukuran tempat kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh manusia, dipelajari dalam antropometri.
  4. Penelitian tentang lingkungan fisik. Penelitian ini berkenaan dengan perancangan kondisi lingkungan fisik dari ruangan dan fasilitas–fasilitas dimana manusia bekerja. Hal ini meliputi perancangan cahaya, suara, warna, temperatur, kelembaban, bau – bauan dan getaran.
Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cidera muscoluskeletal. Kenyamanan tercipta bila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman.

Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja meliputi : flexion, extension, abduction, adduction, rotation, pronation dan supination. Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi pengurangan. Extension adalah gerakan merentangkan (stretching) dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang. Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah (the median plane) tubuh. Adduction adalah pergerakan kearah sumbu tengah tubuh (the median plane). Rotation adalah gerakan perputaran bagian atas lengan atau kaki depan. Pronation adalah perputaran bagian tengah (menuju kedalam) dari anggota tubuh. Supination adalah perputaran ke arah samping (menuju keluar) dari anggota tubuh. (Tayyari, 1997).


Paduan Aluminium Si ( Al-Si )



Aluminium dan Aluminium paduan dapat dilebur dengan baik, tanpa kontaminasi gas Hidrogen, bila pokok – pokok penting proses peleburan diikuti dengan tepat dan cermat. Disamping itu bahan baku yang bersih, tanpa pemuatan tambahan serta proses – proses yang menggagu cairan (modifikasi, grainrefining), akan sangat mengurangi potensi kontaminasi gas tersebut.
Yang paling utama pada proses peleburan Aluminium/Aluminium paduan adalah :

  1. Pemanasan tidak lebih dari 770C diatas temperatur tersebut akan terjadi kontaminasi gas H2 yang besar sehingga menjadi porositas pada produk cor.
  2. Gunakan selalu bahan baku dan alat – alat yang bersih dan kering. Al-ingot dari pabrik Aluminium sekunder bersertifikat hasil analis merupakan pilihan terbaik pada proses ini. Untuk penggunaan ban daur ulang maupun skrap, perhatikan kebersihannya (pasir cetak, oil, air, sampah dll).
  3. Krusibel harus bebas retak dan bersih dari sisa – sisa cairan maupun kotoran lainnya sebelum proses dimulai. Sisa cairan yang umumnya berupa oksida akan mengakibatkan terbentuknya inklusi – inklusi keras didalam produk serta menjadi tempat gas – gas menempel atau terjebak. Sedangkan retak rambut sekalipun tidak tertembus cairan namun akibat tekanan yang tinggi diruang bakar (terutama pada tanur berbahan bakar minyak) akan dapat dilalui oleh gas – gas sisa pembakaran (khususnya H2) sehingga masuk kedalam cairan.
  4. Bahan baku hanya dimuatkan kedalam krusibel yang telah panas. Demikian halnya peralatan, harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum digunakan.
  5. Perhatikan bahwa Aluminium paduan bebas Cu dilarang menggunakan krusibel bekas Aluminium berpaduan Cu pada umumnya Cu akan mengendap didasar dan atau tersisa pada dinding krusibel sehingga selalu akan menaikkan kandungan Cu pada bahan hasil proses peleburan selanjutnya. Untuk kasus seperti diatas, sebaiknya sebelum melakukan proses peleburan Al paduan non Cu terlebih dahulu dilakukan proses peleburan antara dengan tujuan untuk membersihkan sisa – sisa dan endapan Cu dari dalam krusibel.
  6. Kontrol temperatur setelah pencairan harus sangat diperhatikan serendah mungkin sehingga kontaminasi gas dapat ditekan Holding Temperatur hanya sedikit diatas suhu liquidusnya. Barulah menjelang proses penuangan, temperatur dinaikkan hingga temperatur tapping secepat mungkin.
  7. Perbandingkan ramuan antara ingot dengan bahan daur ulang yang baik adalah 40 : 60. Dengan catatan perbandingkan dapat berbeda hanya dengan menambahkan persentase ingot. Perbandingan ramuan sebaiknya dipertahankan tetap, sebab perubahan yang sering dilakukan hanya akan menurunkan kualitas hasil peleburan.
  8. Bila proses peleburan disertai dengan pembubuhan aditiv (modifikasi, grain refening dll) perhatikan bahwa bahan – bahan tersebut harus kering (kelembaban maksimum 0.1%). Pengeringan dapat dilakukan dengan cara pemanasan awal baik didalam tungku pemanas ataupun memanfaatkan udara panas buangan dari tanur krusibel. Perlu diketahui, bahwa pada umumnya bahan – bahan tersebut bersifat higroskopis. Pada penyimpanan dalam waktu lama serta akibat dari kelembaban udara biasanya memiliki kelembaban 0.5% - 1%.
  9. Permukaan cairan Aluminium selalu diselimuti oleh Al2O3. Selimut ini penting bagi pencegahan kontaminasi gas lainnya sehingga harus selalu dijaga utuh. Bila selimut ini rusak, akan segera terbentuk selimut baru sebagai hasil reaksi antara cairan Al dengan udara. Hasil sampingan dari reaksi tersebut adalah gas H2 yang masuk kedalam cairan. Disamping itu, maka pada saat rusak oksida ini dapat tenggelam dan menjadi inklusi.
  10. Paduan Al aman terhadap oksigen, mengikat O2 akan bereaksi dengan Al dan membentuk AI2O3. Bahaya terbesar adalah kontaminasi gas Hidrogen (H2).sebab reaksi AI dengan H2O (kelembaban udara) akan menyisakan H2.
  11. Tinggi kontaminasi H2 didalam Aluminium disebabkan oleh tingkat reaksi yang kuat dan atau ketersediaan H2 yang banyak, sebagai berikut:
  • Temperatur cairan terlalu tinggi, sehingga afinitas AI terhadap O2 yang terdapat didalam kelembaban udara menjadi sangat tinggi.
  • Kelembaban udara, peralatan maupun baan baku terlalu tinggi, sehingga ketersediaan H2
    menjadi besar.
  • Peleburan tanpa perlindungan akibat selalu rusaknya lapisan AI2O3 dipermukaan, sehingga kontaminasi kelembaban udara selalu terjadi. (Modul TPL-Ery H)